7/8/12 Menari di padang lain...(draft)
(2) Hawa adalah manusia pertama yang menjejak kaki ke Sahara, terpisah jauh dari kekasihnya Adam AS. Betapa Hawa turun dan jejak di tanah Sahara yang tandus pasti punya tujuan tersendiri. Apaka tujuan Allah mendaratkan dia ke situ dan tidak bersama Adam AS di Himalaya yang jauh lebih indah dan nyaman keadaannya? Allah, sebahagianya mahu mengkhabarkan, betapa kehidupan ini, harus ada kepayahannya sebelum indahnya. Sebegitulah juga sebermulanya jalanan hidup Adam AS yang mendarat di pergunungan Himalaya, yang kemudian teruji penuh payah merentas segala gunung, menyusur segala lembah dan sungai lalu mendepani Sahara yang gersang demi cinta dan
(3) Dan akupun termanggu, merenung pada cahaya bintang-bintang dari celah-celah dedaunan yang merimbun. Di hutan belantara pergunungan ini, sudah semingguan aku menyusur meredah segala onak sendiri. Aku mencari. Aku menghambat. Naluriku memaksa seluruh tubuhku untuk menerjah apa saja galangnya pencarianku. Biar tapak kakiku tertusuk duri dan ranjau yang memeritkan, aku tetap terus melangkah biar tubuhku sengoyoran, bagai pemabuk pulang di subuh pagi. Biar tubuhku hancur disiat daun-daun lalang dan pandan berduri, tetap kurempoh segalanya. Semuanya atas
(4) Semambu kuning, kerana batangnya yang keras, saat dilancipkan boleh menjadi senjata yang sangat ampuh. Tusukannya sangat berbisa, bagai tikaman keris lok tujuh yang saban Jumaat diasap kemenyan dan diperah air limau nipis. Bisanya sangat membunuh. Dikhabarkan, pulohan ribu tentera Belanda yang bongkak bersenjata senapang dan meriam terkecundang diruncing semambu, milik rakyat kerdil namun ulet. Semambu sesungguhnya adalah senjata para pendekar Siliwangi dalam membebas dan memerdekakan bumi Indonesia. Dan aku mencari semambu, tidak untuk dijadikan tombak atau lembing peperangan, adalah pencarianku akan sebatang tongkat dari sepohon tumbuhan yang istimewa. Aku kepingin memiliki sebatang tongkat yang paling istimewa. Tongkat semambu kuning emas beruas pendek-pendek dari Gunung Halu. Tongkat yang kutemui hasil ambilan dengan tanganku sendiri.
(5) Dalam benakku, tongkat adalah lambang kekuasaan. Dengan tongkat, Musa AS menundukkan para handalan sihir di zamannya. Dengan tongkatnya Musa AS membelah laut Merah dan memusnahkan bala tentera musuh Allah. Dengan tongkatnya, Musa AS memukul batu lalu menerbitkan dua belas matair bagi menghilangkan dahaga kaumnya di Jabal Musa, Sinai. Tongkat Musa AS adalah sebatang anak pohon yang berlingkar yang liat. Bukan dari sepuhan emas bertatah permata seperti miliknya Firaun. Bukan juga dari ukiran berbunga kayu keras Maditeranean milik para handalan sihir. Pada firasatku, ianya adalah anak pohon berlingkar tumbuh dari asakan keras alam Sahara. Ia adalah hadiah dari Tuhan, Allah yang MahaBerkuasa dan MahaBijaksana. Ianya adalah petanda MahaKuasa Allah, bagi membuktikan, bagiNya tiada yang tidak mungkin. Musa AS dengan bantuan Allah, menundukkan segalanya yang manusia anggap tidak mungkin. Tidak mungkin Tongkat anak kayu Musa AS dapat mengalahkan tongkat emas bertahta berlian bergemerlapan Firaun. Tidak mungkin tongkat kayu Musa AS bisa menandingi tongkat ukiran hebat para handalan sihir. Allah membuktikan sebaliknya. Maka aku termangu memikirkan prihal ini, apa nurnya, dari segala riwat yang tertulis.
(6) Sesungguhnya, tongkat sepertinya adalah sunnah. Di setiap khutbah Jumaat, khatib pasti menyampaikan khutbahnya dengan bertongkat. Tidak kira berapa usianya, adalah sebagai sunnah yang telah termaktub, harus sesiapapun berkhutbah mesti berpegang kepada tongkat. Apakah maksudnya keberadaan tongkat ini di tangan para khatib di saat khutbahnya? Umar Al-Khataab tidak pernah lekang dia dari sepotong kayu saat dia melawat dan memeriksa Bazaar di Madinah, bahkan ke mana saja jalan periksanya. Saat ada saja soal urusniaga yang tidak betul, pasti tongkatnya akan meluruskankan segala. Sebegitulah caranya Uthman Affan dan Ali Abi Thaalib. Sebegitulah banyak prilaku banyak khalifah terkemudiannya. Tongkat adalah capaian untuk mereka untuk memperbetulkan yang salah.
(7) Dan aku menuruni Gunung Halu, pulang tanpa semambu. Yang ada hanyalah kaki dan tubuhku yang mulai bernanah akibat tusukan duri, ranjau dan siatan daun-daun keras bergergaji. Apa mitos, apa lagendanya, aku tidak mengerti? Pencarian hanya boleh dilakukan dalam kandang tujuh hari. Tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Sepertinya, ia adalah jalan pertapaan.
Pulang
Pesawat menderu kencang. Sekejap aku sudah melayang terbang di angkasa raya. Arahku, pulang, kembali ke kehidupan biasanya aku. Di kejauhan di celah-celah awan, kutinggalkan kehidupan merayap dalam seribu kepayahan petani dan anak-anaknya di
(2) Air gunung mengalir deras, menyusur celah-celah batu sungai, damai sepertinya, adalahlah tangisan diam ibu-ibu yang menadah sayu mendoakan keberkatan hidup. Dingin airnya, adalah beku kehidupan yang tidak berubah dari zaman ke zaman. Saat terjajah, dinginnya adalah ketakutan akan kematian. Tubuh dan jiwa gemetar mendengar l Kini di zaman merdeka, dingi bekunya adalah keresahan betapa esok
6 ogos, 2012
0 comments :
Post a Comment