6/1/14 AKU, SEPERTI MENGERTINYA AKU, sedang kamu? (draft)
Mengertinya Aku Pada AlamDari langit berderang cahaya menyuluh semua. Dari langit sinar dan kerdipan di malam pekat. Dari langit juga hadirnya pekat malam untuk semua istirehat lena juga buat sang kodok nikmat bercengkerama. Dari langit menderu hembusan nyaman juga mengugat segala jiwa. Dari langit bangkit suara mengerikan memecar-mecar api amaran. Dari langit turun hujan di saat semua kedahagaan mengering kontang. Dari langit runtuh butir-butir dingin membeku idaman segala beruang putih dan pinguin. Ke langit, semua, biar manusia, biar anjing, biar pungguk mendongak saat ada keresahan dan kebutuhan. Langit sepertinya adalah sumber mula, harapan dan penyerahan bagi segala. Allah, Subhannahuwataala, kebijaksanaanMu tiada batas, dalam menundukan semua pada MahaBesarnya Engkau. Di langit Engkau bersemayam. Dari langit asal Engkau datangkan kami, ke langit juga akan sebahagian berpulang nanti.
(2) Asal dari langitlah berhamburan tetes-tetes bening, hinggap menghampar di bumi kering. Dari sebiji benih, dari buangan sang monyet yang terperangkap di celah rekahan, lalu cambah menjulur tegak melewati rerumput dan pohon-pohon renek. Lantas berebut sinar mentari. Berebut tetes-tetes menyegarkan biar sekadar embun nan tipis. Berebut nyaman segala zat yang dicairkan. Tumbuh perlahan-lahan. Dari hari ke minggu. Dari minggu ke purnama. Dari purnama ke tahun. Bertahun-tahun. Berdekad-dekad. Melewati jauh separuh abad sebetulnya. Mulai dari seinci. Lalu jadi sekaki. Sehasta. Sedepa. Terus tegak menjulang, biar kemarau mendatang, biar bah besar melanda, biar terpukul ribut membadai, biar terduga oleh segala, terus meninggi dan membesar gagah, sehingga Allah kudratkan, tetaplah pada megahnya di situ pada batas itu.
(3) Pak Muthalib, seawal pagi, biar dalam gerimis dingin, sudah ke kebun jagungnya. Dia harus hari-hari ke sana. Tidak boleh leka. Tidak boleh alpa, harus dia ke sana. Satu kewajiban lainnya baginya. Di samping melihat-lihat apa mungkin ada sang monyet nakal mencuri tanaman, dia juga memastikan segala kambing peliharaannya juga cukup makanan dan minuman. Hari-hari, sebegitulah kerjanya dia. Penuh cekal. Penuh setia. Seumuran tujuh puloh lima tahun, dia masih mahu berdikari. Peluh hanyir menjujuh dari segala roma tubuhnya. Miang rerumput bukan kepalang menjalar di setiap pelupuk tubuhnya. Dia membersihkan badan di anak sungai mengalir jernih dingin. Dia mendongak memerhati sang mentari. "Alhamdullilah. Masih ada waktu untuk Sholat Dhuha" ujar benaknya lalu dia berwudhu. Sebegitulah selalunya dia, sholat Dhuha di kebunan, memohon pertolongan Allah agar usahanya akan sentiasa diberkati dan dia sekeluarga dirahmati. Kemudian dia bersandar di pohon rendang besar di pinggir kebunan. Terkebil-kebil matanya, hampir-hampir terlena lantaran terpukul bayu dingin dari hutan. Tiba-tiba dia menyoal diri "Harus kenapa pohon ini, segala pohon-pohon, tidak terus tinggi dan membesar, sehingga ke langit agar mudah aku ke sana, menjengah Syurga?" Dia berfikir-fikir mencari sebab. Lantas teringat dia akan manusia paling besar, paling tinggi pernah terciptakan. Tingginya, sepuluh hasta, lima depa. "Ya benar. Adam AS, bapa Umat manusia, tingginya dia adalah sepuloh meter, tiga puloh kaki, sedang manusia kini, jarang yang sehingga mencapai enam kaki, dua hasta, satu depa atau dua meter tingginya. Manusia kini, fiziknya rata-rata pada batas dua puloh peratus dari fiziknya Adam AS. Mungkin kerana umur manusia kini hanya sekitar enam ke dua belas peratus Adam AS, maka fiziknya jadi begitu. Apakah itu benar? Jika benar kenapa?". Sekali lagi Pak Muthalib jadi terkebil-kebil dengan dahi mengerutu cuba mencari jawaban. Dia sebetulnya tidak resah, untuk tidak punya jawaban untuk memuaskan hatinya, namun dia paling khuatir jika cucunya, Guntur Putera nanti bertanya, sedang dia tidak boleh berkata apa-apa selain hanya menjawab "Itu semua sudah Allah tuliskan." Paling mudah, sangat Melayu bunyinya jawaban sebegitu. Dia tidak mahu Guntur akan menuding kepadanya: Jawaban Datuk sama saja untuk semua perkara. Takdir. Takdir. Takdir. Tidak ada jawaban lain". Sudah sering kali anak itu, menunjukkan kejengkelannya lalu berlari-lari pergi dengan muka masam mencuka, saat jawab sebegitu diberikan. Dia khuatir, sangat khuatir, saat sebegitu jawaban yang hanya bisa dia utarakan, pasti terbunuhlah cita rasa mencari, rasa ingin tahu, yang sedang tumbuh mengelegak hebat di benak dan sanubari anak itu. Jika itu terjadi, pasti anak itu akan hanya hidup tanpa kebijaksanaan menjadi tukang manut sepertinya segala binatang tunggangan. Segalanya dia harus punya jawaban biar kurang bener namun bisa diterima akal Guntur. Dia yang sudah makan garam duluan, di mata Guntur, cucu kesayangannya, seharusnya dia kelihatan punya segala kebijaksanaan.
(2) Asal dari langitlah berhamburan tetes-tetes bening, hinggap menghampar di bumi kering. Dari sebiji benih, dari buangan sang monyet yang terperangkap di celah rekahan, lalu cambah menjulur tegak melewati rerumput dan pohon-pohon renek. Lantas berebut sinar mentari. Berebut tetes-tetes menyegarkan biar sekadar embun nan tipis. Berebut nyaman segala zat yang dicairkan. Tumbuh perlahan-lahan. Dari hari ke minggu. Dari minggu ke purnama. Dari purnama ke tahun. Bertahun-tahun. Berdekad-dekad. Melewati jauh separuh abad sebetulnya. Mulai dari seinci. Lalu jadi sekaki. Sehasta. Sedepa. Terus tegak menjulang, biar kemarau mendatang, biar bah besar melanda, biar terpukul ribut membadai, biar terduga oleh segala, terus meninggi dan membesar gagah, sehingga Allah kudratkan, tetaplah pada megahnya di situ pada batas itu.
(3) Pak Muthalib, seawal pagi, biar dalam gerimis dingin, sudah ke kebun jagungnya. Dia harus hari-hari ke sana. Tidak boleh leka. Tidak boleh alpa, harus dia ke sana. Satu kewajiban lainnya baginya. Di samping melihat-lihat apa mungkin ada sang monyet nakal mencuri tanaman, dia juga memastikan segala kambing peliharaannya juga cukup makanan dan minuman. Hari-hari, sebegitulah kerjanya dia. Penuh cekal. Penuh setia. Seumuran tujuh puloh lima tahun, dia masih mahu berdikari. Peluh hanyir menjujuh dari segala roma tubuhnya. Miang rerumput bukan kepalang menjalar di setiap pelupuk tubuhnya. Dia membersihkan badan di anak sungai mengalir jernih dingin. Dia mendongak memerhati sang mentari. "Alhamdullilah. Masih ada waktu untuk Sholat Dhuha" ujar benaknya lalu dia berwudhu. Sebegitulah selalunya dia, sholat Dhuha di kebunan, memohon pertolongan Allah agar usahanya akan sentiasa diberkati dan dia sekeluarga dirahmati. Kemudian dia bersandar di pohon rendang besar di pinggir kebunan. Terkebil-kebil matanya, hampir-hampir terlena lantaran terpukul bayu dingin dari hutan. Tiba-tiba dia menyoal diri "Harus kenapa pohon ini, segala pohon-pohon, tidak terus tinggi dan membesar, sehingga ke langit agar mudah aku ke sana, menjengah Syurga?" Dia berfikir-fikir mencari sebab. Lantas teringat dia akan manusia paling besar, paling tinggi pernah terciptakan. Tingginya, sepuluh hasta, lima depa. "Ya benar. Adam AS, bapa Umat manusia, tingginya dia adalah sepuloh meter, tiga puloh kaki, sedang manusia kini, jarang yang sehingga mencapai enam kaki, dua hasta, satu depa atau dua meter tingginya. Manusia kini, fiziknya rata-rata pada batas dua puloh peratus dari fiziknya Adam AS. Mungkin kerana umur manusia kini hanya sekitar enam ke dua belas peratus Adam AS, maka fiziknya jadi begitu. Apakah itu benar? Jika benar kenapa?". Sekali lagi Pak Muthalib jadi terkebil-kebil dengan dahi mengerutu cuba mencari jawaban. Dia sebetulnya tidak resah, untuk tidak punya jawaban untuk memuaskan hatinya, namun dia paling khuatir jika cucunya, Guntur Putera nanti bertanya, sedang dia tidak boleh berkata apa-apa selain hanya menjawab "Itu semua sudah Allah tuliskan." Paling mudah, sangat Melayu bunyinya jawaban sebegitu. Dia tidak mahu Guntur akan menuding kepadanya: Jawaban Datuk sama saja untuk semua perkara. Takdir. Takdir. Takdir. Tidak ada jawaban lain". Sudah sering kali anak itu, menunjukkan kejengkelannya lalu berlari-lari pergi dengan muka masam mencuka, saat jawab sebegitu diberikan. Dia khuatir, sangat khuatir, saat sebegitu jawaban yang hanya bisa dia utarakan, pasti terbunuhlah cita rasa mencari, rasa ingin tahu, yang sedang tumbuh mengelegak hebat di benak dan sanubari anak itu. Jika itu terjadi, pasti anak itu akan hanya hidup tanpa kebijaksanaan menjadi tukang manut sepertinya segala binatang tunggangan. Segalanya dia harus punya jawaban biar kurang bener namun bisa diterima akal Guntur. Dia yang sudah makan garam duluan, di mata Guntur, cucu kesayangannya, seharusnya dia kelihatan punya segala kebijaksanaan.
(4) Teringat dia akan sebuah kitab yang dia baca sedikit masa lalu. Dia bingkas bangkit berlari-lari lalu menunggang speda motornya pulang. Sesampai di depan pintu, sang isteri Sumirah Jandab sudah menjegati bersama cucunya Guntur Putera. "Ayuh Guntur ikut Atuk" sergahnya sambil menolak sang isteri ke pinggir lalu meraih tangan cucunya menariknya ke Kamar Bacaan. "Kamu, kalau hari hujan saja, pasti sukar untuk bangun awal. Kamu harus rajin ikut Atuk ke kebun saban hari awal-awal pagi. Biar kecil-kecil belajar jadi rajin, nanti bila Atuk sudah tidak ada, kamu boleh hidup sendiri" dia sedikit membebel mengheret lembut anak itu ke Kamar Bacaannya. "Tadi Atuk lihat, jiran kita, Umar hanya sendiri di kebun menjaga kambing-kambingnya. Dia bertanyakan kamu. Dia kelihatan sedih kerana kamu tidak ada sama di sana. Kasihan dia." khabar Pak Muthalib tentang anak kecil si Umar cucunya si Nufail teman karibnya. Guntur bila ke kebun bersama datuknya, dia pasti akan menemani Umar untuk sama-sama menjaga kambing-kambingnya. Umar, anak Pak Khatib, adaalh anak pendiam. Hanya bersama Guntur baru terpecar keriangannya. Namun, gelagat Umar sangat berbeda dengan Guntur. Guntur lebih banyak menyoal, sedang Umar lebih banyak diam dan berfikir. Mungkin kerana ayahnya Pak Khatib adalah sangat garang serta keras, mak dia jadi sebegitu. Maka kehadiran Guntur, adalah suatu yang sangat Umar harapkan saban harinya.
(5) Akal seorang tua, sukar dimengerti namun banyak kebijaksanaannya. "Dari hanya aku lelah berfikir, lebih baik Guntur ikut sama aku menyelongkari rahsia Allah" timbul akal tebal bermain dalam benaknya disepanjang perjalanan Pak Muthalib pulang dari kebunnya. Sang isteri berlalu pergi. Dia ke dapur. Akur betapa nanti sekejap lagi pasti sang suami akan meneriak meminta kopi. "Sumirah, buatkan aku kopi pekat. Satu kopi susu buat Guntur. Minta ubi goreng mentega sekali". Itulah seru yang Ibu Sumirah sudah biasa. Berpuluh tahun. Dari sejak mulai menikah, sebegitulah tumpah cinta kasih kemesraan mereka berdua. Separuh abad sudah berlalu sebegitu. Sepertinya Pak Muthalib, kasih akan Ibu Sumirah kerana kopi. Seorang gemar minum kopi, seorang lagi gemar buatkan kopi. Cinta kasih mereka terus hangat dan kental kerana kopi. Kini lantaran sudah punya cucu yang sering ngerinyang, dari hanya kopi pekat, sudah bertambah kopi susu. Cinta kasih mereka, sudah berubah dari cinta kopi pekat menjadi cinta kopi susu. Ada hitam, ada putihnya. Namun, enaknya saat masih panas. Begitulah juga cinta kasih mereka, sentiasa hangat, enak manis sepertinya biar kopi pekat atau kopi susu panas. Sebegitulah mereka. Namun sejak akhir-akhir ini, saat Pak Muthalib sudah lali di Kamar Bacaan, tugasnya sangat terbatas di keliling rumah sahaja. Pak Muthalib, saat dia sudah terkubur di Kamar Bacaan, pasti tidak putus-putus mahu kopi pekat hangat. Dari pagi ke sore. Malah berlanjutan sehingga jauh-jauh malam. "Kita mesti cari rahsia Allah" bisik Pak Muthalib kepada cucunya Guntur. "Ha, Allah ada rahsia ke Tuk? Rahsia Allah sembunyikan harta karun ke?' senggih Guntur menyeringai melopong menunjukkan gigi ompongnya bergerigi bagai Toyol lapar. "Huh, busuk gigi kamu. Kamu belum gosok gigi ye? Pergi gosok gigi dan mandi dulu. Lepas itu kita bongkar rahsia Allah" tegas Pak Muthalib sambil menjegil matanya melotot kepada Guntur. Guntur akur. Bergegas pergi ke Kamar Mandi berlari pantas dengan kaki-kaki halus munggilnya. Sambil berlari sambil dia melepaskan baju dan celananya. Perut gendut, kepala botak, badan pendek, kulit mulus putih, memang anak itu benar-benar kelihatan seperti Toyol lapar. "Hahhh. Kecil-kecil sudah amalkan ilmu T&T, Tanggal dan Tinggal. Kamu ambil pakainan kamu itu dan letakkan baik-baik dalam bakul di sebelah Washing Machine" terdengar neneknya membentak dari kejauhan. Sebentar, Guntur dan Ibu Sumirah sudah terjegat di pintu Kamar Bacaan. Ibu Sumirah menantang dulang kopi pekat dan kopi susu, sedang Guntur sarat dengan semangkuk ubi kuning goreng mentega, dan mulutnya penuh mengunyah tidak henti-henti. "Kenapa awak biarkan budak itu makan gelojoh macam tu dan sambil berjalan? Tidak baik. Itu bukan tertibnya Islam. Macam kambing!" tegur Pak Muthalib melotot kepada isterinya saat terlihat olehnya mulut Guntur yang monyong tersumbat ubi goreng. "Alah. Budak-budak. Tak ke mana sabarnya" balas sang isteri seperti merajuk. Merajuk. Ibu Sumirah separuh merajuk. Dalam hatinya membentak "Bukan nak ucap terima kasih dulu. Tau-tau yang salah dilihat dulu. Yang betul sering dilupakan. Lagi, adakah patut Guntur dia samakan dengan kambing". Ibu Sumirah berlalu pergi. Langkahnya biar lembut tetapi cepat sambil menutup pintu agak kencang. Pak Muthalib melirik. Dia tahu isterinya merajuk. "Huh. Perempuan-perempuan. Tahunya merajuk. Saja hendakkan perhatian. Tidak pula boleh berfikir, bila kita menegur, beri perhatianlah itu maksudnya. Ini tidak, dalam kepala otaknya, kalau bukan pujian, bukan perhatian. Perempuan-perempuan. Patutlah engkau perempuan. Kurang akal, kurang fikir, banyak kurangnya. Mudah ikut hati!" persoal Pak Muthalib sambil menghembus nafas panjang. Guntur, dia tidak peduli. Yang dia tahu, harus segera menyerobot kopi susu panas dan ubi goreng mentega. "Ini sedap nyerobot saja, sudah ucap terima kasih dekat nenek tak?" jegelnya kepada cucunya itu. "Terima kasiiiiih nek" teriak Guntur panjang. "Yelah tu!" jawab nenek sayup-sayup di balik pintu. "Masih di belakang pintu rupanya dia" bisik hati kecil Pak Muthalib. Dia kemudian jadi senyum sendiri. Tersipu-sipu, mengeleng-geleng kepala. "Atuk senyum macam kambing jantanlah" tegur Guntur saat melihat senyum kurang menjadi di wajah Datuknya. Ibu Sumirah, dapat mendengar teguran Guntur kepada Datuknya. "Padan muka" bisiknya sambil berlalu pergi ke laman untuk menyiram segala kembang yang mewangi.
(5) Akal seorang tua, sukar dimengerti namun banyak kebijaksanaannya. "Dari hanya aku lelah berfikir, lebih baik Guntur ikut sama aku menyelongkari rahsia Allah" timbul akal tebal bermain dalam benaknya disepanjang perjalanan Pak Muthalib pulang dari kebunnya. Sang isteri berlalu pergi. Dia ke dapur. Akur betapa nanti sekejap lagi pasti sang suami akan meneriak meminta kopi. "Sumirah, buatkan aku kopi pekat. Satu kopi susu buat Guntur. Minta ubi goreng mentega sekali". Itulah seru yang Ibu Sumirah sudah biasa. Berpuluh tahun. Dari sejak mulai menikah, sebegitulah tumpah cinta kasih kemesraan mereka berdua. Separuh abad sudah berlalu sebegitu. Sepertinya Pak Muthalib, kasih akan Ibu Sumirah kerana kopi. Seorang gemar minum kopi, seorang lagi gemar buatkan kopi. Cinta kasih mereka terus hangat dan kental kerana kopi. Kini lantaran sudah punya cucu yang sering ngerinyang, dari hanya kopi pekat, sudah bertambah kopi susu. Cinta kasih mereka, sudah berubah dari cinta kopi pekat menjadi cinta kopi susu. Ada hitam, ada putihnya. Namun, enaknya saat masih panas. Begitulah juga cinta kasih mereka, sentiasa hangat, enak manis sepertinya biar kopi pekat atau kopi susu panas. Sebegitulah mereka. Namun sejak akhir-akhir ini, saat Pak Muthalib sudah lali di Kamar Bacaan, tugasnya sangat terbatas di keliling rumah sahaja. Pak Muthalib, saat dia sudah terkubur di Kamar Bacaan, pasti tidak putus-putus mahu kopi pekat hangat. Dari pagi ke sore. Malah berlanjutan sehingga jauh-jauh malam. "Kita mesti cari rahsia Allah" bisik Pak Muthalib kepada cucunya Guntur. "Ha, Allah ada rahsia ke Tuk? Rahsia Allah sembunyikan harta karun ke?' senggih Guntur menyeringai melopong menunjukkan gigi ompongnya bergerigi bagai Toyol lapar. "Huh, busuk gigi kamu. Kamu belum gosok gigi ye? Pergi gosok gigi dan mandi dulu. Lepas itu kita bongkar rahsia Allah" tegas Pak Muthalib sambil menjegil matanya melotot kepada Guntur. Guntur akur. Bergegas pergi ke Kamar Mandi berlari pantas dengan kaki-kaki halus munggilnya. Sambil berlari sambil dia melepaskan baju dan celananya. Perut gendut, kepala botak, badan pendek, kulit mulus putih, memang anak itu benar-benar kelihatan seperti Toyol lapar. "Hahhh. Kecil-kecil sudah amalkan ilmu T&T, Tanggal dan Tinggal. Kamu ambil pakainan kamu itu dan letakkan baik-baik dalam bakul di sebelah Washing Machine" terdengar neneknya membentak dari kejauhan. Sebentar, Guntur dan Ibu Sumirah sudah terjegat di pintu Kamar Bacaan. Ibu Sumirah menantang dulang kopi pekat dan kopi susu, sedang Guntur sarat dengan semangkuk ubi kuning goreng mentega, dan mulutnya penuh mengunyah tidak henti-henti. "Kenapa awak biarkan budak itu makan gelojoh macam tu dan sambil berjalan? Tidak baik. Itu bukan tertibnya Islam. Macam kambing!" tegur Pak Muthalib melotot kepada isterinya saat terlihat olehnya mulut Guntur yang monyong tersumbat ubi goreng. "Alah. Budak-budak. Tak ke mana sabarnya" balas sang isteri seperti merajuk. Merajuk. Ibu Sumirah separuh merajuk. Dalam hatinya membentak "Bukan nak ucap terima kasih dulu. Tau-tau yang salah dilihat dulu. Yang betul sering dilupakan. Lagi, adakah patut Guntur dia samakan dengan kambing". Ibu Sumirah berlalu pergi. Langkahnya biar lembut tetapi cepat sambil menutup pintu agak kencang. Pak Muthalib melirik. Dia tahu isterinya merajuk. "Huh. Perempuan-perempuan. Tahunya merajuk. Saja hendakkan perhatian. Tidak pula boleh berfikir, bila kita menegur, beri perhatianlah itu maksudnya. Ini tidak, dalam kepala otaknya, kalau bukan pujian, bukan perhatian. Perempuan-perempuan. Patutlah engkau perempuan. Kurang akal, kurang fikir, banyak kurangnya. Mudah ikut hati!" persoal Pak Muthalib sambil menghembus nafas panjang. Guntur, dia tidak peduli. Yang dia tahu, harus segera menyerobot kopi susu panas dan ubi goreng mentega. "Ini sedap nyerobot saja, sudah ucap terima kasih dekat nenek tak?" jegelnya kepada cucunya itu. "Terima kasiiiiih nek" teriak Guntur panjang. "Yelah tu!" jawab nenek sayup-sayup di balik pintu. "Masih di belakang pintu rupanya dia" bisik hati kecil Pak Muthalib. Dia kemudian jadi senyum sendiri. Tersipu-sipu, mengeleng-geleng kepala. "Atuk senyum macam kambing jantanlah" tegur Guntur saat melihat senyum kurang menjadi di wajah Datuknya. Ibu Sumirah, dapat mendengar teguran Guntur kepada Datuknya. "Padan muka" bisiknya sambil berlalu pergi ke laman untuk menyiram segala kembang yang mewangi.
(6) "Guntur tahu tak kenapa pokok tidak boleh tumbuh tinggi sampai ke langit? Juga Atuk, tidak akan membesar tinggi lagi lebih dari ketinggian Atuk sekarang ini?" tanya Pak Muthalib mengalih cerita. "Bukankah malam-malam langit itu gelap. Mesti banyak hantu di sana. Kalau pokok tumbuh sampai ke langit, nanti hantu turun ikut pokok, susah kita nanti Tuk! Lagipun, kalau pokok terlalu tinggi, nanti kalau buah dia jatuh, tentu sakit teruk kalau kena kepala kita." balas Guntur spontan dan bersahaja. "Wah. Kamu. Tidak lain, otak khayal saja!" sergah Pak Muthalib. Namun dalam hatinya, dia berbangga, biar Guntur belum punya jawaban yang masuk akal, sekurang-kurangnya dia sudah pandai mengasah akal memberi jawaban. "Kita baca kitab ini. Kita cari jawaban saintifik bagaimana Allah menghadkan ketinggian pokok juga Atuk dan kamu kemudiannya" usul Pak Muthalib sambil membelek-belek kitab Fadhilat Alam di tangannnya. Guntur hanya memerhati. Dia anak Taska. Belum mengerti banyak hal, lebihnya hanya menyoal. "Cuba lihat ini. Pokok sama saja dengan tubuh manusia. Ada saluran-saluran yang membawa air dan makanan. Dalam ilmu Sains semua ini disebut sebagai pembuluh-pembuluh Zilem dan Filum yang terdiri dari gentian-gentian parenkima dan sklerenkima, sama seperti pembuluh darah manusia. Kamu lihat ini." Unjuk Pak Muthalib kepada Guntur."Pokok hanya boleh hidup, kalau terus mendapat bekalan air dan makanan dari cairan tanah. Oleh kerana panjang pembuluh-pembulu itu adalah terhad, maka terhad jugalah kesampaian makanan dan air ke bahagian-bahagian pokok. Jadi begitulah caranya Allah menetapkan ketinggian pokok" jelas Pak Muthalib. Guntur hanya terkebil-kebil. Di tangannya terkepal segengam ubi goreng. "Macamana kamu hendak faham. Kamu tidak beri perhatian pada cerita Atuk. Kepala kamu tidak lain, ingat hendak makan sahaja" tegur Pak Muthalib sambil mengusap-ngusap kepala cucunya. Dia yakin, biar Guntur belum boleh mengerti, tetapi dia mahu gigih menanam sifat gemar mencari jawaban lewat membaca ke dalam diri cucunya itu. Muhammad SAW, petah andal dia tentang Islam lantaran dia tidak jemu-jemu menghafal Al Quran dan membaca dan mentafsirkan Al Quran kepada para pengikutnya. "Tapi Tok, kenapa pembuluh pembawa makanan dan air pokok hanya panjang sebegitu. Kenapa tidak tumbuh panjang-panjang. Yalah panjang-panjang-panjang" soal Guntur sambil mendepa-depa tangannnya. Dia mengerakkkan jari jemarinya seperti kepakan rama-rama, melakunkan kepanjangan yang sangat panjang. "Inilah yang aku hendak elakkan. Dia pasti terus menyoal" bisik hati Pak Muthalib. Dia berfikir sejenak. Menyerobot kopi. Guntur ikut sama. "Ha. Kenapa kita hanya boleh menyerobot kopi hanya sedikit-sedikit sekali?" tiba-tiba Pak Muthalib menyoal. "Sebab kopi panas!" jawab Guntur cerdas spontan. "Benar tapi tidak betul" balas Pak Muthalib. Guntur mendongak. Dahinya mengerutu. Matanya menjadi sepet. Bibirnya diketap rapat. "Kita menyerobot kopi sedikit-sedikit sekali, memang benarlah kerana kopi itu panas. Tetapi, kita juga tidak boleh menghirup kopi banyak-banyak sebab nafas kita pendek. Bukankah kita menyerobot dengan menarik nafas" jelas Pak Muthalib. Guntur mengangguk-ngangguk. Dia tersenyum. "Pokok mendapatkan air dan makanannya dari tanah dengan cara menyedut menyerobot macam kita minum. Jadi kerana nafasnya pendek, maka, tidak banyak air dan makanan yang dia dapat sedut. Oleh itu, dia hanya boleh tumbuh setakat mana dia boleh mendapatkan makanan. Itulah caranya Allah menetapkan ketinggian sesuatu pokok." perjelas lanjut Pak Muthalib. "Pokok ada nafas ke Tok?" seru Guntur seperti menyanggah. Pak Muthalib seperti terperangkap. "Mestilah. Setiap yang hidup mesti ada nafas. Kalau tidak macamana mereka hendak hidup" jawab serkap jarang Pak Muthalib.
(7) Namun, Pak Muthalib tahu itu bukanlah sebab sebenar kenapa pokok tidak boleh tumbuh lebih tinggi dari itu. Memang benar, pada setiap sesuatu Allah telah tetapkan hukum baginya, sifat dan tabii tetap baginya. Namun, sesuatu kejadian itu pasti ada sebab dan musababnya. Dari pembacaan lanjut Pak Muthalib, dia mendapati kemasukan air dan segala zat melewati pembuluh zilem dan filum adalah dengan daya yang disebut sebagai Daya Rerambut, Capillary Forces yang wujud akibat Ketegangan Permukaan, Surface Tension pada gentian-gentian skalernkima dan parekima yang membina berkas zilem dan filum. Kedua-dua forces ini terpengaruh oleh daya graviti semulajadi bumi. Selagi Daya Rerambut dan Keteganagn Permukaan adalah lebih besar dari graviti, maka air akan terus meresap masuk ke dalam pembuluh zilem dan filum. Setiap tanaman, punya saiz skalernkima dan parenkima yang berbeda-beda. Perdedaan saiz pembuluh inilah yang akhirnya menentukan ketinggian sebenar sesuatu tanaman. Jika saiz saluran adalah besar, maka lebih reneklah sesuatu tanaman itu. Saiz gentian sklerenkima dan parenkima pohon pisang adalah jauh lebih besar dari pohon kelapa. Maka sebab itu, pohon pisang lebih berair, lembut serta lebih rendah dari pohon kelapa yang kering, keras dan tinggi. Sebegitulah Allah, lewat hukumNya di Luh Mahfuz Dia menjadikan alam ini dengan mahluk-mahluk yang khusus sifat-sifatnya namun penuh kepelbagaian atas tujuan masing-masing. Pak Muthalib berdoa, mudah-mudahan cucunya nanti, mengerti akan Al Quran pada landasan yang sepatutnya, dan tidak sekadar menerima seperti biasa yang dia dengar, sekadar face value. Pak Muthalib yakin, kelemahan Umat Islam kini, khususnya bangsanya sendiri adalah kerana mereka sekadar membaca Al Quran dan tidak berminat mengkaji sedalamnya akan ilmu dalam Kitabullah itu.
(8) "Kenapa pulak Atuk tak tumbuh tinggi macam pokok? soal Guntur. Pak Muthalib sudah menduga. Pasti si cucunya itu tidak akan pernah berhenti bertanya. Dia mencapai sebuah kitab Rahsia Manusia. Dia membuka lembaran yang menunjukkan jaringan pembuluh dan rerambut darah dalam badan manusia. "Cuba lihat ini. Semua pembuluh darah akan bermula dan berakhir di jantung. Pembuluh darah mempunyai peranan sama dengan Xilem dan Filum pokok tadi, iaitu mengangkut makanan, air, dan oksijen ke seluruh badan manusia. Tumbuh-tumbuhan mengambil makanan dari cairan tanah. Jadi sejauh mana pembuluhnya dapat mengangkut makanan, maka setinggi itulah tumbuhnya sesuatu pokok. Tetapi manusia, juga haiwan lainnya, mereka tidak mengambil makanan dari tanah. Manusia ada tangan, ada kaki, mereka boleh mencari makanan di mana-mana. Bila makanan dikunyah, kemudian dihadam di dalam perut, barulah makanan itu masuk ke salur-salur darah untuk dihantar ke seluruh badan manusia. Pergerakkan darah manusia pula bergantung dengan kekuatan pam serta saiz jantung. Jika jantung besar, maka lebih banyak darah boleh dipam dan lebih banyak makanan boleh diangkut oleh darah. Oleh itu, orang yang punya jantung besar, maka dia lebih tinggi dan besar" perjelas Pak Muthalib berjela-jela. Guntur hanya terdiam. Dia antara faham dan tidak. Masih keliru sebetulnya. "Kamu hendak besar dan tinggi tak? soal Pak Muthalib bagi menambah minat si cucunya kepada penyelidikannya. Guntur memandangnya tepat. "Kalau Guntur tinggi dan besar, mudah hendak ambil buah durian dan cempedak yang Atuk tanam" balas Guntur menyeringai. "Otak kamu ni tak ada hal lain. Makan. Makan. Makan. Kalau kamu hendak tinggi dan besar, kena ikut Sunnah Nabi, kamu mesti suka minum susu. Susu segar kambing lagi bagus" ujar Pak Muthalib. Cucunya dipeluknya erat. Dahinya dikucupnya hangat. "Patut Atuk bela kambing. Esok kita perah susu kambing ye Tok. Kita ajak Umar minum susu kambing sama. Kesian dia, selalu dia hanya berbekal nasi goreng kismis bila menjaga kambing-kambing ayahnya" balas Guntur. "Betul. Supaya kamu dapat minum susu segar hasil dari kebun Atuk. Kamu boleh jadi kuat. Gigi kamu boleh jadi cantik. Rangka tulang kamu boleh jadi besar, lalu jantung kamupun jadi lebih besar" balas Pak Muthalib. Mereka kemudian berlari-lari anak menuju ke dapur mendapatkan neneknya yang memanggil-manggil untuk makan tengah hari. Hati Pak Muthalib cukup girang sekali melihat Guntur yang kian tangkas, cerdas dan bijak. "Alhamdullillah. Mudah-mudahan anak ini akan menjadi pembela bangsa dan Islam yang paling kental" doanya.
(9) Sesungguhnya dalam setiap kehidupan, flora juga fauna, rupa bentuk mahluk Allah dalam kelompok itu sebetulnya telah Allah tentukan lewat gene genotip setiap satunya. Rupa bentuk serta susunatur setiap molikul gene tersebutlah merupakan caranya Allah menentukan akan ketentuan tabii sesuatu mahluk hidup. Alam; pengaruh air, pencahayaan, suhu, udara, zat galian, graviti dan sebagainya, hanyalah ekosistem; sebab yang akan mempengaruhi rupabentuk fenotip sesuatu mahluk hidup itu. Sedang, bagi mahluk mati seperti air, gas, segala galian, pasir, dsb adalah ditentukan oleh juzuk atom dan molekul yang menjadikan mahluk mati tersebut. Allah, begitulah caraNya Dia, bukan sekadar mampu mencipta segala mahlukNya secara berbeda-beda, namun tetap teratur, tetapi Dia juga terlalu bijak untuk menyembunyikan ilmuNya, melainkan bagi golongna yang suka berfikir dan menyelidik. Cuma silapnya, saat banyak berilmu, mereka jadi angkuh, mereka lupa malah menafikan akan kekuasaan Allah. Pak Muthalib, insaf akan ini. Maka, dia mengambil sikap, biarlah lewat cucunya Guntur Putera, dia benar-benar mahu mendidik anak itu untuk mencungkil segala rahsia Allah lewat alam ini, agar suatu hari nanti dia benar-benar dapat menebar akan ilmu Islam yang sebetulnya.
(10) Muthalib bukanlah nama sebenar Pak Muthalib. Namanya yang sebenar adalah Sahibah. Bapanya bernama Hashim. Datuk sebelah bapanya adalah Abdul Manaf. Ibunya adalah Salimah bt Amir. Nama-nama kerabat keluarganya ada iras keturunan Arab. Di zaman dulu-dulu, biasalah, nama mirip Arab jadi kegemaran semua. Mereka sekeluarga, mulanya tinggal di Kota Timur, yang lebih dikenali sebagai Kotimur. Namun, kerana bapanya telah meninggal di saat dia berumur delapan tahun, maka dia telah diambil oleh pamannya bernama Muthalib sebagai anak angkatnya lalu di bawa ke Kota Barat, singkatnya disebut Kobarat letaknya sekitar 200 kilometer ke Barat Kotimur. Semasa anak-anaknya, dia sangat akrab dengan pamannya. Ke mana saja pamannya pergi, biar ke kebun, berjualan, apa lagi berurusan dengan para tetangga serta orang kebanyakan, dia pasti akan turut sama. Keakraban itulah maka dia sering diberi nama julukan Abdul Al Muthalib, mengambil erti bahasa Arab, yang bermaksud budak Muthalib, sehingga bila pamannya meninggal, maka lekatlah nama Abdul Muthalib pada dirinya. Pak Muthalib, seperti paman dan datuknya Abdul Manaf, adalah seorang yang bertubuh besar, tinggi, gagah, tampan, dan bijaksana. Mungkin itulah anugerah Allah kepada keluarga ini, yang dari turun temurun membela kambing.
(11) Pamannya adalah seorang pemikir mengikut jejak langkah datuknya, sehingga kerana pekerti mulianya dia diangkat oleh penduduk Kobarat untuk menjadi Ketua Penguasa Kota tersebut. Pemilihan pamannya mengantikan datuknya untuk menjadi Ketua Penguasa Kobarat bukanlah lewat jalan mudah. Seperti dalam masyarakat apapun, jawatan sebegitu mulia dan tinggi pasti menjadi idamana banyak. Maka dalam pemilihan penyandang ke jaweatan itu telah berlaku perselisihan antara pamannya dan keluarga Ummaizah yang kemudian berlanjutan menjadi permusuhan besar antara keluarga Guntur dan keluarga tersebut. Sesungguhnya, datuk kepada Umar iaitu Nufail sahabatnya Pak Muthalib adalah orang yang telah berjaya mendamaikan pihak-pihak yang bertelaggah dan akhirnya meminta semua agar melantik Pak Muthalib menjadi Ketua penguasa Kobarat. Itulah sebetulnya sejarah silam yang menjadikan Pak Muthalib juga sangat prihatin ke atas Umar serta dia mahukan Guntur untuk bersahabat akrab dengannya. Pak Muthalib yakin, suatu hari nanti pasti Guntur dan Umar akan bergandingan dalam membangunkan bangsanya menjadi lebih gah. Di bawah kepimpinan; pamannya, Kobarat berkembang jadi kota makmur. Dia bersama-sama penduduk Kobarat berbincang mengatur susur galur sistem perumahan, jalan, serta segala kemudahan di kota tersebut. Paling dia teliti adalah caranya mengatur agar Masjid Agung Kobarat menjadi paksi bagi segala pembinaan di kota tersebut. Dia bijak mengatur keperluan air pertanian. Di sekeliling di luar kota, dia membangun kolam-kolam tadahan air. Dari kolam-kolam ini, maka di salirkan air-air bagi keperluan para penternak dan petani khusus di musim kemarau. Sedang, di musim tengkujuh pula, kolam-kolam ini menjadi tadahan takungan bagi mengelakkan banjir besar. Ringkasnya, keluarga Pak Muthalib, biar dari sebelah ibu juga bapanya, adalah keluarga baik-baik. Lantaran itu, sehingga kini, Pak Muthalib terus terangkat terhormat sebagai Ketua Penguasa Kobarat mengambilalih peranan pamannya dan bapanya dulu. Cuma kerana usianya yang kian lanjut serta kesihatan yang kurang baik, dia sudah mulai melepaskan banyak hal pengurusan Kobarat ke tangan para penguasa dari angkatan lebih muda dan berkemahiran. Dia jarang terlibat langsung dalam hal-hal pentadbiran harian Kobarat. Lantaran banyak terluang masa, dia kini lebih banyak menghabis masa bersama cucunya dan kebun buah-buahan dan ternak kambingnya. Sesekali dia membawa cucunya merantau mencari luang dagang bagi para pedagang di Kobarat.
Kenapa Guntur Jadinya Kamu?
Guntur Putera. Itulah gelar nama yang Pak Muthalib berikan kepada cucunya. Ayahnya Guntur, anak bongsu Pak Muthalib, Abdullah dan ibunya Aminah sebetulnya memberikan dia nama Muhammad. Kedua orang tua Guntur mengharapkan anak mereka mengiring kehebatan Muhammad SAW dalam memperjuangkan Islam dan membebaskan bumi Arab dari segala kegelapan. Dia berharap Guntur akan menjadi Muhammad SAW kepada bangsanya. Dan di malam itu, Pak Muthalib membawa Guntur duduk istirehat di pinggir kali. Angin menderu, ombak menghempas diri berirama paling nyaman. Di langit, terhias bebola purnama benderang sesekali dilitupi awan hitam. Bintang-bintang berhamburan, berkerdip-kedip menintai-ngintai apa sedang manusia perlakukan. Di kejauhan, sesekali seperti jaringan api, berdentum geledek petir memecar sinar membelah kepekatan malam. "Kamu tahu bagaimana dan kenapa Allah mencipta petir" soal Pak Muthalib mendadak kepada Guntur. Guntur merapat tubuhnya kepada Pak Muthalib. Dia kedinginan. Dia mencari teduh dari hangat tubuh datuknya. "Bagaimana Tok? soal Guntur dalam pelukan enak datuknya. "Kamu lihat awan-awan itu. Di bawah awan-awan itu ada angin. Saat angin bertiup kencang, maka berlaku genseran hebat antara awan dan angin, lalu terjadi medan elektrik. Medan elektrik itu sebetulnya adalah kumpulan elektron yang jika terhimpun dengan banyak, akhirnya menjadi arus elektrik yang mengalir deras ke bumi. Petir adalah ledakan aliran elektrik dari awan ke bumi. Maka sebab itu, lagi kuat angin bertiup, lagi kuat medan elektrik terjana, lalu lagi kuatlah ledakan petir" jelas Pak Muthalib. Apa elektron itu Tok? Elektrik petir itu apa sama dengan elektrik di rumahkah? tanya balas Guntur. "Elektrik itu ibarat darah. Darah itu pula terbina dari sel-sel kecil yang tidak boleh kelihatan oleh mata kasar. Maka sel-sel darah itu ibarat elektron yang menjadi elektrik. Memang benar, elektrik petir sama saja dengan elektrik di rumah kita, cuma elektrik dari petir beribu kali lebih hebat tenaganya dari elektrik di rumah" balas Pak Muthalib. "Kenapa adanya petir Atuk?" soal Guntur terus. "Banyak sebab kenapa Allah menjadikan petir. Pertama, ianya memecahkan bungkah-bungkah awan lalu gugur menjadi hujan. Kedua, petir juga boleh menjadi pedoman kepada para pelaut. Ketiga, petir adalah satu dari cara Allah memberi amaran kepada manusia-manusia jahat. Selalunya, petir akan menyambar di mana iblis banyak berbuat kejahatan bersama manusia. perjelas Pak Muthalib dengan penuh yakin. "Kenapa petir menyambar ke bumi tidak ke langit Tok?" soal Guntur tidak semena-mena. Terpinga sebentar Pak Muthalib dengan soalan sebegitu. "Di antara awan dan bumi, banyak butir-butir air dan udara. Butir-butir air dan udara itu bertindak seperti wayar elektrik. Jadi, petir memanah ikut aliran butir-butir air dan udara itulah. Lagipun, di bumi, di perut bumi banyak galian, jadi ke bumilah talanya petir. Lagi satu, hanya di bumi para syaitan dan iblis berada. Sedang di antara awan dan langit itu kosong, hampagas. Jadi elekrik tidak boleh bergerak dalam hampagas. Juga di langit tidak ada syaitan dan iblis." jawab Pak Muthalib sambil mengeluh lega.
(2) "Kamu tahu kenapa nama kamu Atuk gelar sebagai Guntur?" soal Pak Muthalib. "Entah" jawab Guntur singkat. "Kalau boleh, dan Atuk berdoa, semoga kamu bila dewasa nanti akan menjadi seperti petir dari langit. Guntur adalah nama lain bagi petir, kilat, geledek" bisik Pak Muthalib. Dia memeluk rapat anak itu. Keduanya berkongsi hangat. "Kenapa Tuk?" soal Guntur sambil memepes terus di celah lengan datuknya. "Datuk berdoa agar kamu menjadi pemberani sepertinya petir. Membawa hujan saat diperlukan. Menyejukkan malam juga siang. Mengkhabar gembira buat segala tumbuhan juga haiwan. Menerang kegelapan buat yang menghendaki. Bercakap dan bertindak benar penuh ikhlas setiap ketika. Berani atas yang salah." bicara Pak Muthalib. "Tapi Tuk, Guntur tak fahamlah. Ngantuk" rungut Guntur sambil mengusek-ngusek lalu menguap dalam jubah Pak Muthalib. "Kamu kalau menguap, harus tutup mulut. Ucap Auzubillah Himinasyaitan nir rajim. Mohon perlindungan dari syaitan dan iblis kepada Allah. Jika tidak, nanti syaitan masuk bersarang dalam tubuh kamu. Salah-salah kena panah petir nanti." tegur Pak Muthalib. "Tentu syaitan dan iblis tidak akan berani dekat dengan Guntur. Bukankah Guntur ini petir!" celah Guntur berseloroh. "Huh. Cucu Atuk jangan sombong dan riak. Allah tidak suka sifat sebegitu." balas pak Muthalib tegas. Mereka berdua kemudian bangkit lalu bertuntun mesra meniti gigi air, berjalan pulang lembut perlahan-lahan.
(3) "Tuk, kenapa ibu dan ayah Guntur mati terlalu awal?".........bersambung, InsyaAllah.
Kuching, Sarawak
21 Jan., 2014
(7) Namun, Pak Muthalib tahu itu bukanlah sebab sebenar kenapa pokok tidak boleh tumbuh lebih tinggi dari itu. Memang benar, pada setiap sesuatu Allah telah tetapkan hukum baginya, sifat dan tabii tetap baginya. Namun, sesuatu kejadian itu pasti ada sebab dan musababnya. Dari pembacaan lanjut Pak Muthalib, dia mendapati kemasukan air dan segala zat melewati pembuluh zilem dan filum adalah dengan daya yang disebut sebagai Daya Rerambut, Capillary Forces yang wujud akibat Ketegangan Permukaan, Surface Tension pada gentian-gentian skalernkima dan parekima yang membina berkas zilem dan filum. Kedua-dua forces ini terpengaruh oleh daya graviti semulajadi bumi. Selagi Daya Rerambut dan Keteganagn Permukaan adalah lebih besar dari graviti, maka air akan terus meresap masuk ke dalam pembuluh zilem dan filum. Setiap tanaman, punya saiz skalernkima dan parenkima yang berbeda-beda. Perdedaan saiz pembuluh inilah yang akhirnya menentukan ketinggian sebenar sesuatu tanaman. Jika saiz saluran adalah besar, maka lebih reneklah sesuatu tanaman itu. Saiz gentian sklerenkima dan parenkima pohon pisang adalah jauh lebih besar dari pohon kelapa. Maka sebab itu, pohon pisang lebih berair, lembut serta lebih rendah dari pohon kelapa yang kering, keras dan tinggi. Sebegitulah Allah, lewat hukumNya di Luh Mahfuz Dia menjadikan alam ini dengan mahluk-mahluk yang khusus sifat-sifatnya namun penuh kepelbagaian atas tujuan masing-masing. Pak Muthalib berdoa, mudah-mudahan cucunya nanti, mengerti akan Al Quran pada landasan yang sepatutnya, dan tidak sekadar menerima seperti biasa yang dia dengar, sekadar face value. Pak Muthalib yakin, kelemahan Umat Islam kini, khususnya bangsanya sendiri adalah kerana mereka sekadar membaca Al Quran dan tidak berminat mengkaji sedalamnya akan ilmu dalam Kitabullah itu.
(8) "Kenapa pulak Atuk tak tumbuh tinggi macam pokok? soal Guntur. Pak Muthalib sudah menduga. Pasti si cucunya itu tidak akan pernah berhenti bertanya. Dia mencapai sebuah kitab Rahsia Manusia. Dia membuka lembaran yang menunjukkan jaringan pembuluh dan rerambut darah dalam badan manusia. "Cuba lihat ini. Semua pembuluh darah akan bermula dan berakhir di jantung. Pembuluh darah mempunyai peranan sama dengan Xilem dan Filum pokok tadi, iaitu mengangkut makanan, air, dan oksijen ke seluruh badan manusia. Tumbuh-tumbuhan mengambil makanan dari cairan tanah. Jadi sejauh mana pembuluhnya dapat mengangkut makanan, maka setinggi itulah tumbuhnya sesuatu pokok. Tetapi manusia, juga haiwan lainnya, mereka tidak mengambil makanan dari tanah. Manusia ada tangan, ada kaki, mereka boleh mencari makanan di mana-mana. Bila makanan dikunyah, kemudian dihadam di dalam perut, barulah makanan itu masuk ke salur-salur darah untuk dihantar ke seluruh badan manusia. Pergerakkan darah manusia pula bergantung dengan kekuatan pam serta saiz jantung. Jika jantung besar, maka lebih banyak darah boleh dipam dan lebih banyak makanan boleh diangkut oleh darah. Oleh itu, orang yang punya jantung besar, maka dia lebih tinggi dan besar" perjelas Pak Muthalib berjela-jela. Guntur hanya terdiam. Dia antara faham dan tidak. Masih keliru sebetulnya. "Kamu hendak besar dan tinggi tak? soal Pak Muthalib bagi menambah minat si cucunya kepada penyelidikannya. Guntur memandangnya tepat. "Kalau Guntur tinggi dan besar, mudah hendak ambil buah durian dan cempedak yang Atuk tanam" balas Guntur menyeringai. "Otak kamu ni tak ada hal lain. Makan. Makan. Makan. Kalau kamu hendak tinggi dan besar, kena ikut Sunnah Nabi, kamu mesti suka minum susu. Susu segar kambing lagi bagus" ujar Pak Muthalib. Cucunya dipeluknya erat. Dahinya dikucupnya hangat. "Patut Atuk bela kambing. Esok kita perah susu kambing ye Tok. Kita ajak Umar minum susu kambing sama. Kesian dia, selalu dia hanya berbekal nasi goreng kismis bila menjaga kambing-kambing ayahnya" balas Guntur. "Betul. Supaya kamu dapat minum susu segar hasil dari kebun Atuk. Kamu boleh jadi kuat. Gigi kamu boleh jadi cantik. Rangka tulang kamu boleh jadi besar, lalu jantung kamupun jadi lebih besar" balas Pak Muthalib. Mereka kemudian berlari-lari anak menuju ke dapur mendapatkan neneknya yang memanggil-manggil untuk makan tengah hari. Hati Pak Muthalib cukup girang sekali melihat Guntur yang kian tangkas, cerdas dan bijak. "Alhamdullillah. Mudah-mudahan anak ini akan menjadi pembela bangsa dan Islam yang paling kental" doanya.
(9) Sesungguhnya dalam setiap kehidupan, flora juga fauna, rupa bentuk mahluk Allah dalam kelompok itu sebetulnya telah Allah tentukan lewat gene genotip setiap satunya. Rupa bentuk serta susunatur setiap molikul gene tersebutlah merupakan caranya Allah menentukan akan ketentuan tabii sesuatu mahluk hidup. Alam; pengaruh air, pencahayaan, suhu, udara, zat galian, graviti dan sebagainya, hanyalah ekosistem; sebab yang akan mempengaruhi rupabentuk fenotip sesuatu mahluk hidup itu. Sedang, bagi mahluk mati seperti air, gas, segala galian, pasir, dsb adalah ditentukan oleh juzuk atom dan molekul yang menjadikan mahluk mati tersebut. Allah, begitulah caraNya Dia, bukan sekadar mampu mencipta segala mahlukNya secara berbeda-beda, namun tetap teratur, tetapi Dia juga terlalu bijak untuk menyembunyikan ilmuNya, melainkan bagi golongna yang suka berfikir dan menyelidik. Cuma silapnya, saat banyak berilmu, mereka jadi angkuh, mereka lupa malah menafikan akan kekuasaan Allah. Pak Muthalib, insaf akan ini. Maka, dia mengambil sikap, biarlah lewat cucunya Guntur Putera, dia benar-benar mahu mendidik anak itu untuk mencungkil segala rahsia Allah lewat alam ini, agar suatu hari nanti dia benar-benar dapat menebar akan ilmu Islam yang sebetulnya.
(10) Muthalib bukanlah nama sebenar Pak Muthalib. Namanya yang sebenar adalah Sahibah. Bapanya bernama Hashim. Datuk sebelah bapanya adalah Abdul Manaf. Ibunya adalah Salimah bt Amir. Nama-nama kerabat keluarganya ada iras keturunan Arab. Di zaman dulu-dulu, biasalah, nama mirip Arab jadi kegemaran semua. Mereka sekeluarga, mulanya tinggal di Kota Timur, yang lebih dikenali sebagai Kotimur. Namun, kerana bapanya telah meninggal di saat dia berumur delapan tahun, maka dia telah diambil oleh pamannya bernama Muthalib sebagai anak angkatnya lalu di bawa ke Kota Barat, singkatnya disebut Kobarat letaknya sekitar 200 kilometer ke Barat Kotimur. Semasa anak-anaknya, dia sangat akrab dengan pamannya. Ke mana saja pamannya pergi, biar ke kebun, berjualan, apa lagi berurusan dengan para tetangga serta orang kebanyakan, dia pasti akan turut sama. Keakraban itulah maka dia sering diberi nama julukan Abdul Al Muthalib, mengambil erti bahasa Arab, yang bermaksud budak Muthalib, sehingga bila pamannya meninggal, maka lekatlah nama Abdul Muthalib pada dirinya. Pak Muthalib, seperti paman dan datuknya Abdul Manaf, adalah seorang yang bertubuh besar, tinggi, gagah, tampan, dan bijaksana. Mungkin itulah anugerah Allah kepada keluarga ini, yang dari turun temurun membela kambing.
(11) Pamannya adalah seorang pemikir mengikut jejak langkah datuknya, sehingga kerana pekerti mulianya dia diangkat oleh penduduk Kobarat untuk menjadi Ketua Penguasa Kota tersebut. Pemilihan pamannya mengantikan datuknya untuk menjadi Ketua Penguasa Kobarat bukanlah lewat jalan mudah. Seperti dalam masyarakat apapun, jawatan sebegitu mulia dan tinggi pasti menjadi idamana banyak. Maka dalam pemilihan penyandang ke jaweatan itu telah berlaku perselisihan antara pamannya dan keluarga Ummaizah yang kemudian berlanjutan menjadi permusuhan besar antara keluarga Guntur dan keluarga tersebut. Sesungguhnya, datuk kepada Umar iaitu Nufail sahabatnya Pak Muthalib adalah orang yang telah berjaya mendamaikan pihak-pihak yang bertelaggah dan akhirnya meminta semua agar melantik Pak Muthalib menjadi Ketua penguasa Kobarat. Itulah sebetulnya sejarah silam yang menjadikan Pak Muthalib juga sangat prihatin ke atas Umar serta dia mahukan Guntur untuk bersahabat akrab dengannya. Pak Muthalib yakin, suatu hari nanti pasti Guntur dan Umar akan bergandingan dalam membangunkan bangsanya menjadi lebih gah. Di bawah kepimpinan; pamannya, Kobarat berkembang jadi kota makmur. Dia bersama-sama penduduk Kobarat berbincang mengatur susur galur sistem perumahan, jalan, serta segala kemudahan di kota tersebut. Paling dia teliti adalah caranya mengatur agar Masjid Agung Kobarat menjadi paksi bagi segala pembinaan di kota tersebut. Dia bijak mengatur keperluan air pertanian. Di sekeliling di luar kota, dia membangun kolam-kolam tadahan air. Dari kolam-kolam ini, maka di salirkan air-air bagi keperluan para penternak dan petani khusus di musim kemarau. Sedang, di musim tengkujuh pula, kolam-kolam ini menjadi tadahan takungan bagi mengelakkan banjir besar. Ringkasnya, keluarga Pak Muthalib, biar dari sebelah ibu juga bapanya, adalah keluarga baik-baik. Lantaran itu, sehingga kini, Pak Muthalib terus terangkat terhormat sebagai Ketua Penguasa Kobarat mengambilalih peranan pamannya dan bapanya dulu. Cuma kerana usianya yang kian lanjut serta kesihatan yang kurang baik, dia sudah mulai melepaskan banyak hal pengurusan Kobarat ke tangan para penguasa dari angkatan lebih muda dan berkemahiran. Dia jarang terlibat langsung dalam hal-hal pentadbiran harian Kobarat. Lantaran banyak terluang masa, dia kini lebih banyak menghabis masa bersama cucunya dan kebun buah-buahan dan ternak kambingnya. Sesekali dia membawa cucunya merantau mencari luang dagang bagi para pedagang di Kobarat.
Kenapa Guntur Jadinya Kamu?
Guntur Putera. Itulah gelar nama yang Pak Muthalib berikan kepada cucunya. Ayahnya Guntur, anak bongsu Pak Muthalib, Abdullah dan ibunya Aminah sebetulnya memberikan dia nama Muhammad. Kedua orang tua Guntur mengharapkan anak mereka mengiring kehebatan Muhammad SAW dalam memperjuangkan Islam dan membebaskan bumi Arab dari segala kegelapan. Dia berharap Guntur akan menjadi Muhammad SAW kepada bangsanya. Dan di malam itu, Pak Muthalib membawa Guntur duduk istirehat di pinggir kali. Angin menderu, ombak menghempas diri berirama paling nyaman. Di langit, terhias bebola purnama benderang sesekali dilitupi awan hitam. Bintang-bintang berhamburan, berkerdip-kedip menintai-ngintai apa sedang manusia perlakukan. Di kejauhan, sesekali seperti jaringan api, berdentum geledek petir memecar sinar membelah kepekatan malam. "Kamu tahu bagaimana dan kenapa Allah mencipta petir" soal Pak Muthalib mendadak kepada Guntur. Guntur merapat tubuhnya kepada Pak Muthalib. Dia kedinginan. Dia mencari teduh dari hangat tubuh datuknya. "Bagaimana Tok? soal Guntur dalam pelukan enak datuknya. "Kamu lihat awan-awan itu. Di bawah awan-awan itu ada angin. Saat angin bertiup kencang, maka berlaku genseran hebat antara awan dan angin, lalu terjadi medan elektrik. Medan elektrik itu sebetulnya adalah kumpulan elektron yang jika terhimpun dengan banyak, akhirnya menjadi arus elektrik yang mengalir deras ke bumi. Petir adalah ledakan aliran elektrik dari awan ke bumi. Maka sebab itu, lagi kuat angin bertiup, lagi kuat medan elektrik terjana, lalu lagi kuatlah ledakan petir" jelas Pak Muthalib. Apa elektron itu Tok? Elektrik petir itu apa sama dengan elektrik di rumahkah? tanya balas Guntur. "Elektrik itu ibarat darah. Darah itu pula terbina dari sel-sel kecil yang tidak boleh kelihatan oleh mata kasar. Maka sel-sel darah itu ibarat elektron yang menjadi elektrik. Memang benar, elektrik petir sama saja dengan elektrik di rumah kita, cuma elektrik dari petir beribu kali lebih hebat tenaganya dari elektrik di rumah" balas Pak Muthalib. "Kenapa adanya petir Atuk?" soal Guntur terus. "Banyak sebab kenapa Allah menjadikan petir. Pertama, ianya memecahkan bungkah-bungkah awan lalu gugur menjadi hujan. Kedua, petir juga boleh menjadi pedoman kepada para pelaut. Ketiga, petir adalah satu dari cara Allah memberi amaran kepada manusia-manusia jahat. Selalunya, petir akan menyambar di mana iblis banyak berbuat kejahatan bersama manusia. perjelas Pak Muthalib dengan penuh yakin. "Kenapa petir menyambar ke bumi tidak ke langit Tok?" soal Guntur tidak semena-mena. Terpinga sebentar Pak Muthalib dengan soalan sebegitu. "Di antara awan dan bumi, banyak butir-butir air dan udara. Butir-butir air dan udara itu bertindak seperti wayar elektrik. Jadi, petir memanah ikut aliran butir-butir air dan udara itulah. Lagipun, di bumi, di perut bumi banyak galian, jadi ke bumilah talanya petir. Lagi satu, hanya di bumi para syaitan dan iblis berada. Sedang di antara awan dan langit itu kosong, hampagas. Jadi elekrik tidak boleh bergerak dalam hampagas. Juga di langit tidak ada syaitan dan iblis." jawab Pak Muthalib sambil mengeluh lega.
(2) "Kamu tahu kenapa nama kamu Atuk gelar sebagai Guntur?" soal Pak Muthalib. "Entah" jawab Guntur singkat. "Kalau boleh, dan Atuk berdoa, semoga kamu bila dewasa nanti akan menjadi seperti petir dari langit. Guntur adalah nama lain bagi petir, kilat, geledek" bisik Pak Muthalib. Dia memeluk rapat anak itu. Keduanya berkongsi hangat. "Kenapa Tuk?" soal Guntur sambil memepes terus di celah lengan datuknya. "Datuk berdoa agar kamu menjadi pemberani sepertinya petir. Membawa hujan saat diperlukan. Menyejukkan malam juga siang. Mengkhabar gembira buat segala tumbuhan juga haiwan. Menerang kegelapan buat yang menghendaki. Bercakap dan bertindak benar penuh ikhlas setiap ketika. Berani atas yang salah." bicara Pak Muthalib. "Tapi Tuk, Guntur tak fahamlah. Ngantuk" rungut Guntur sambil mengusek-ngusek lalu menguap dalam jubah Pak Muthalib. "Kamu kalau menguap, harus tutup mulut. Ucap Auzubillah Himinasyaitan nir rajim. Mohon perlindungan dari syaitan dan iblis kepada Allah. Jika tidak, nanti syaitan masuk bersarang dalam tubuh kamu. Salah-salah kena panah petir nanti." tegur Pak Muthalib. "Tentu syaitan dan iblis tidak akan berani dekat dengan Guntur. Bukankah Guntur ini petir!" celah Guntur berseloroh. "Huh. Cucu Atuk jangan sombong dan riak. Allah tidak suka sifat sebegitu." balas pak Muthalib tegas. Mereka berdua kemudian bangkit lalu bertuntun mesra meniti gigi air, berjalan pulang lembut perlahan-lahan.
(3) "Tuk, kenapa ibu dan ayah Guntur mati terlalu awal?".........bersambung, InsyaAllah.
Kuching, Sarawak
21 Jan., 2014